Prinsip-prinsip Psikometri

18:02



Apakah Psikometri Itu?
Seperti halnya ekonometri dan biometri, maka psikometri dapat didefinisikan sebagai "penerapan/penggunaan metoda-metoda statistika pada data tentang perilaku manusia (data psikologi)". Oieh sebab itu, jika anda membaca buku-buku teks tentang psikometri atau jurnal yang diterbitkan oleh perhimpunan ahli psikometri (the Psychometric Society) seperti "Psikometrika", maka yang akan anda jumpal adalah dua hal, yaitu:
·         pembahasan teiitang teori-teori statistika yang sering dipakai pada data psikologi seperti teori estimasi, teori distribusi, dsb,
·         pembahasan tentang penggunaan/ aplikasi metoda statistika tertentu dalam pengolahan data di bidang psikologi.
Pada jenis yang pertama materinya lebih bersifat teori statistika dan sering disebut sebagai "teori psikometri", sedangkan yang kedua biasanya disebut "psikometri terapan". Baik pada jenis yang pertama maupun yang kedua, yang dibahas dalam bidang psikometri adalah sama yaitu selalu tentang statistika.
Berbeda dengan data di bidang ekonomi, biologi, dan fisika, data di bidang psikologi sebagian besar diperoleh melalui proses pengukuran yang bersifat tidak langsung, dan dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sulit untuk divalidasi dan dikalibrasi. Oleh sebab itu, yang dibahas di dalam psikometri tidak hanya tentang penggunaan statistika untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel psikologis yang telah terukur/ada datanya, tetapi juga mengenai aplikasi statistika untuk untuk menerangkan "mutu data" itu sendiri sebagai hasil dari suatu upaya/proses pengukuran. Bahkan, di dalam banyak buku tentang psikometri sering ditemui isi materi yang didominasi oleh pembahasan yang mendalam dan panjang lebar tentang "pengukuran" tersebut. Akibatnya, sering timbul kesan bahwa psikometri adalah ilmu/metoda tentang pengukuran variabel-variabel psikologis (teori tes) semata. Padahal, model-model matematis/statistis yang ditelaah di dalam psikometri adalah menyangkut baik tentang "model pengukuran" measurement model maupun "model tentang hubungan antara variabel-variabel yang terukur" structural model. Bahkan, dalam perkembangannya saat ini, ilmu psikometri telah mplangkah lebih maju lagi dengan telah berha'iil dipadukannya kedua jenis model di atas sehingga hubungan antara variabel-variabel yang "tak terukur" pun telah dapat diterangkan dan diuji secara empirik.

Psikometri dan Pengembangan Tes
Karena yang menjadi fokus pembicaraan dalam lokakarya ini adalah tentang pengggunaan tes psikologi untuk menseleksi calon karyawan, maka konsep-konsep psikometri yang akan disajikan di sini pun adalah tentang kedua model yang telah dikemukakan di atas dalam kaitannya dengs-n keberhasilan dari suatu proses seleksi. Namun demikian, mengingat kemungkinan beragamnya tingkat pemahaman statistika para peserta, maka seluruh pembahasan akan dilakukan secara non-statistikal dalam arti bahwa rumus-rumus serta model matematis dari konsep yang dibahas tidak akan disajikan. Pertama, pada bagian ini akan dibahas konsep-konsep yang berkenaan dengan measurement model, yang dalam hal ini adalah tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu tes sebagai "alat ukur" sehingga data yang dihasilkannya dapat dipercaya. Kemudian, pada bagian selanjutnya akan dibahas pula segi structural model nya, yang dalam hal ini adalah berkenaan dengan "penggunaan yang tepat dari suatu atau beberapa tes yang telah diuji mutunya" sehingga dapat diperoleh suatu keputusan seleksi yang optimal.
Konsep yang pertama yang perlu dikemukakan adalah tentang "tes" itu sendiri. Secara operational, tes dapat dinyatakan sebagai himpunan pertanyaan pertanyaan yang harus di jawab, atau pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ ditanggapi, atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites (testee) dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku dari orang yang di tes. Contoh yang sederhana adalah tes prestasi belajar, di mana hal yang hendak diukur ialah tingkat sejauh mana seorang siswa telah menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan kepadanya. Di sini, prestasi belajar dapat meliputi aspek pengetahuan dan ketrampilan seseorang. Dalam istilah psikologi, aspek intelektual dan pengetahuan disebut aspek kognitif sedangkan aspekketrampilan disebut aspek motorik. Selain tes untuk aspek intelektual dan ketrampilan, ada pula tes psikologis yang dimaksudkan untuk mengukur hal-hal yang berkenaan dengan karakteristik pribadi (watak, motivasi, minat, sikap, konsep diri, dsb.), yang soring kali disebut sebagai tes kepribadian atau "personality test". Banyak ahli psikologi tak mau menyebut alat ukur jenis ini sebagai "tes" tetapi merpka menggunakan sebutan "inventory", atau "scale". Bahkan banyak dari mereka yang begitu berhati-hati sehingga tak menamakan pengukuran aspek kepribadian seseorang ini dengan istilah "measurement" tetapi cukup menggunakan istilah "assessment".
Tes yang dimaksudkan sebagai alat ukur aspek kognitif biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu apa yang disebut "tes kemampuan" (power test) dan "tes kecepatan" (speed test). Pemahaman tentang pembagian jenis tes ini amat penting karena sifat-sifat yang harus dimiliki kedua jenis tes tersebut amat berbeda. Adapun perbedaan sifat tersebut adalah sebagai berikut:
  • Prinsip dari suatu "power test" adalah tidak diperbolehkannya pembatasan waktu di dalam pengerjaan tes. Menurut prinsip ini, hanya jika waktunya tak dibatasi, barulah hasil tes itu akan benar-benar mengungkapkan kemampuan seseorang. Adanya pembatasan waktu diperkirakan akan menyebabkan orang menjadi tidak dapat menunjukkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, sehingga skor yang dihasilkan tidak menunjukkan kemampuan yang sebenarnya dari orang tersebut. Namun demikian, adalah tidak efisien jika orang yang paling lambat pun harus ditunggu sampai ia menyelesaikan tes yang dihadapinya, terutama pada tes yang diberikan secara klasikal (kelom-pok). Sebagai kompromi, biasanya para ahli tes masih menganggap suatu pelaksanaan tes sebagai "tes kemampuan" (power test) jika sebagian besar orang yang dites dapat menyelesaikan tes tersebut dalam waktu yang disediakan. Hal ini perlu untuk diperhatikan oleh orang yang akan menyusun kisi-kisi suatu tes.
  • Sebaliknya pada sebuah "speed test", yang diukur di sini ialah kecepatan di dalam memikirkan atau mengerjakan sesuatu. Jadi, yang harus dilakukan hendaknya merupakan pengulangan tugas yang sama dalam suatu periode waktu yang ditentukan. Tugas tersebut sebaiknya dibuat semudah mungkin sehingga yang diukur benar-benar kecepatan bekerja/ berpikir dan bukanlah kemampuan orang tersebut. Tes prestasi belajar yang kita susun umumnya adalah tes prestasi yang bersifat tes kemampuan (power test).
Tes yang dimaksudkan untuk mengungkapkan aspek watak/ kepribadian pun terdiri dari duajenis yaitu tes kepribadian yang bersifat "proyektif" dan yang'bersifat "non-proyektif". Tes yang bersifat proyektif adalah yang menuntut orang yang di tes untuk memproyeksikan perasaan maupun pendiriannya melalui cerita, gambar, tulisan, dan sebagainya. Dalam hal ini, orang yang di tes biasanya tidak menyadari/ mengetahui aspek apa yang sebenarnya hendak diungkapkan oleh tes yang dihadapinya. Contoh dari tes seperti ini adalah "Thematic Apperception Test" di mana orang dihadapkan kepada kartu berisi gambar kemudian diminta untuk mengarang cerita tentang apa yang terdapat dalam gambar tersebut. Selanjutnya, tes kepribadian yang bersifat "non-proyektif" adalah yang berbentuk lebih obyektif dalam arti orang yang di tes diminta memilih alternatif tanggapan yang telah tersedia terhadap suatu pernyataan atau situasi yang disajikan. Pada tes jenis ini, pengolahan data dan penafsirannya adalah seperti halnya pada tes bidang aspek kognitif dan ketrampilan di atas. Contoh sederhanii dari tes yang bersifat "non-proyektif" adalah "skala sikap".

Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa tes itu adalah sebuah alat ukur, sebagaimana halnya dengan alat ukur panjang (misalnya mistar), alat ukur berat (timbangan), alat ukur suhu (termometer), dan sebagainya. Bedanya ialah bahwa tes dimaksudkan untuk mengukur aspek perilaku manusia. Oleh sebab itu, segala persyaratan bagi sebuah alat ukur yang baik, berlaku pula bagi sebuah tes.
Syarat pertama ialah bahwa setiap alat ukur yang baik hanya mengenai/ mengukur satu dimensi/ aspek saja. Mistar hanya mengukur jarak/panjang, timbangan hanya mengukur berat, dan sebagainya. Jadi sebuah tes prestasi belajar di bidang matematika, misalnya, setiap butir soalnya harus mengukur hanya pengetahuan matematika saja. Pada alat ukur di bidang fisika, pemenuhan syarat yang pertama ini biasanya lebih mudah. Namun pada alat ukur perilaku manusia, pemenuhannya lebih sukar. Pada butir soal matematika, tidak mustahil terdapat unsur bahasa, atau bentuk soal yang belum biasa dikenal oleh siswa, dsb., sehingga berhasil tidaknya siswa dalam menjawab soal tersebut akan bergantung pula pada aspek lain selain kemampuannya di bidang matematika. Dalam hal ini, kemampuan siswa dalam menjawab soal tersebut dengan benar tidaklah semata-mata ditentukan oleh pengetahuannya di bidang matematika, melainkan ditentukan pula oleh pemahamannya terhadap hal bahasa, bentuk soal, dan sebagainya itu. Dengan kata lain, dapat saja terjadi bahwa di dalam sebuah tes matematika terdapat butir-butir soal yang sebenarnya tidak sepenuhnya mengukur kemampuan matematika. Tes seperti ini disebut kurang "valid" (kurang sahih). Ukuran tentang sejauh mana skor yang dihasilkan oleh sebuah tes men-King terbukti mengukur apa yang diniati hendak diukur, disebut "validitas" dari sebuah tes. Setiap tes psikologi yang hendak digunakan, termasuk bagi keperluan seleksi calon karyawan, harus terlebih dahulu diuji dan diketahui tingkat validitas nya.
Berkenaan dengan hal di atas, hanya jika sebuah tes (misalnya tes matematika) bersifat "satu dimensi" (unidimensional), barulah kita boleh menamakan skor total dari tes tersebut sebagai skor untuk dimensi yang diukur (dalam hal ini "skor matematika"). Jika ada sebuah dimensi yang sifatnya lebih umum/luas seperti misalnya "inteligensi" atau "pengetahuan sosial", maka perlu disusun sub-sub tes yang berdimensi tunggal (unidimensional) yang hanya mengukur satu aspek saja dari "inteligensi" atau "pengetahuan sosial" itu. Dalam hal ini disyaratkan bahwa setiap aspek/sub-tes harus berkorelasi tinggi satu sama lain sehingga dapat dijadikan bukti bahwa semua aspek tersebut memang merupakan bagian dari suatu yang lebih umum/ luas itu. Jika tidak, maka sebenarnya kita tak boleh menjumlahkan begitu saja skor-skor yang dihasilkan, untuk kemudian dinamakan sebagai skor inteligensi atau skor pengetahuan sosial seseorang.
Syarat yang kedua ialah bahwa suatu tes harus memiliki sifat "kehandalan" dari suatu alat ukur. Istilah yang sering digunakan uiituk hal ini ialah "reliabilitas" dari skor sebuah tes. Kehandalan yang dimaksud disini meliputi ketepatan/kecermatan (precision) hasil pengukuran, dan keajegan/ kestabilan (consistency) dari hasil pengukuran. Kecermatan hasil pengukuran ditentukan oleh banyaknya informasi yang dihasilkan dan amat berkaitan dengan satuan ukuran dan jarak rentang (range) dari skala yang digunakan. Dalam mengukur berat sebuah cincin emas. pengukuran dengan timbangan yang bersatuan miligram dan berjarak rentang antara 0 – 1000 mg, tentu akan menghasilkan ukuran yang lebih teliti dari pada penggnnaan timbangan dengan satuan kilogram dan berjarak rentang 0 - 100 kg. Begitu pula halnya dengan tes prestasi belajar, tes inteligansi, tes bakat, dsb. Sebuah tes dengan jumlah soal yang cukup banyak dan seluruh soalnya bertaraf kesukaran "sedang" (on-target) bagi orang yang menempuh, tentu akan menghasilkan informasi yang lebih teliti mengenai orang yang diukur jika dibandingkan dengan tes yang soalnya sedikit dengan tingkat kesukaran yang "off-target". Dengan kata lain, soal-soal sebuah tes tidak boleh terlalu jauh di bawah atau di atas tingkat kemampuan intelektual orang yang akan mengerjakannya agar tingkat kecermatan hasil pengukuran dapat lebih tinggi. Dengan demikian, sebuah kisi-kisi tes yang menetapkan prosentase soal yang mudah, sedang dan sukar, pada prinsipnya adalah salah dan menyimpang dari teori tentang kehandalan hasil sebuah tes. Jika orang yang hendak di tes sangat hcterogin tingkat kemampuannya, maka menurut teori keterhandalan pengukuran, mereka harus dibagi menjadi beberapa kelompok yang relatif homogin, sehingga untuk setiap kelompok dapat disusun dan diberikan tes yang tingkat kesukarannya sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Secara teoretis, jika memungkinkan, maka hendaknya setiap individu hanya dihadapkan pada soal-soal yang tepat bagi tingkat kemampuan dirinya saja (individualized atau tailored testing). Dengan bantuan komputer dan bank soal yang soal-soalnya telah dikalibrasi, hal seperti ini dapat dimungkinkan dan memang telah dipraktekkan di beberapa tempat di Amerika, Eropa daratan, dan Australia.
Tentang syarat kestabilan/ keajegan (consistency) dari skor suatu tes, ada dua istilah yang perlu dikenal yaitu keajegan internal dan eksternal. Keajegan internal ialah tingkat sejauh mana butir-butir soal sebuah tes itu homogin baik dari segi tingkat kesukaran maupun dari segi bentuk soal/prosedur menjawabnya. Hal ini berkaitan erat dengan masalah kehormatan/presisi yang telah dibicarakan sebelumnya, di mana disyaratkan agar tingkat kesukaran semua soal yang ada dalam suatu tes sesuai dengan tingkal kemampuan orang yang akan di tes. Tingkat kehandalan skor tes dalam arti (1) homoginitas butir soal dan (2) kehandalan butir-butir soal tersebut dalam mengungkapkan perbedaan kemamnuan yang terdapat di kalangan siswa, dapat diukur dengan sebuah indeks yang dikenal dengan sebutan "indeks alpha dari Cronbach" (Cronbach Alpha). Khusus untuk tes tertulis yang jawabannya bersifat dichutomis (yaitu benar jika memilih kuncinya dan salah jika tidak), teknik perhitungan indeks alpha tersebut dapat disederhanakan sehingga lebih mudah dihitung. Penyederhanaan terhadap teknik perhitungan (rumus) alpha tersebut dikemukakan oleh dua orang yang bernama Kuder dan Richardson. Oleh sebab itu, salah satu rumus perhitungan indeks keterhandalan skor tes yang paling populer dikenal dengan sebutan KR—80, di mana huruf pertama dari nama kedua orang tersebut dicantumkan. Hal ini perlu dikemukakan karena setiap buku mengenai tes selalu membicarakan konsep reliabilitas dengan rumus keterhandalan skor tes yang disebut indeks KR—20 itu. Kuder dan Richardson bahkan mengajukan pula cara perhitungan yang lebih sederhanajika butir-butir soal yang ada dalam sebuah tes memang benar-benar homogin taraf kesukarannya. Rumus yang lebih sederhana tersebut dinamakan indeks KR—21.
Dalam hal keajegan yang bersifat eksternal, pokok permasalahannya ialah mengenai tingkat sejauh mana skor yang dihasilkan dari penyajian sebuah tes kepada sekelompok orang, akan tetap sama sepanjang kemampuan orang-orang yang diukur tersebut masih belum berubah. Cara pendekatannya ada dua. Pertama, dengan mcmbayangkan sekelompok orang menempuh sebuah tes berulang-ulang sampai tak terhingga kali banyaknya dengan asumsi bahwa (1) kcmampuan orang tersebut tak berubah, dan (2) orang tersebut tak akan mempelajari isi tes. Kedua, dengan membayangkan sekelompok orang menempuh perangkat-perangkat tes paralel yang tak terhingga banyaknya (diperlukan tes paralel karena disadari bahwa jika tesnya tetap sama maka orang tersebut akan mempelajari isi tes tersebut). Jika dari kedua pendekatan tersebut dapat dihasilkan skor ya.ng sama pada setiap pengukurannya, inaka berarti alat ukur (tes) tersebut adalali alat yang memenuhi syarat keajegan hasil ukuran seeara eksternal. Dalam prakteknya, kedua pendekatan tersebut tak dapat dilaksanakan. Biasanya cukup disajikan dua tes yang dianggap paralel atau sebuah tes disajikan dua kali saja. Jarang sekali ada yang sampai tiga kali atau lebih. Untuk menentukan apakah hasil yang diperoleh adalah sama, pun biasanya hanya dihitung dengan indeks statistika yang disebut korelasi, yang sebenarnya kurang memadai untuk dipakai sebagai indeks keajegan. Di dalam cara mendapatkan perangkai, paralel pun kadang-kadang orang ingin mudahnya saja. Bukannya menyusun perangkat baru yang paralel, tetapi cukup membagi saja tes yang akan diuji keajegannya itu menjadi dua buah sub-tes yang masing-masing jumlah soalnya hanya separuh dari tes semula. Korelasi antara skor dari masing-masing sub-tes tersebut kemudian dihitung dan dianggap sebagai indeks keajegan eksternal dari sebuah tes yang jumlah butir soalnya hanya separuh dari tes samula. Berdasarkan hasil perhitungan ini kemudian dilakukan penaksiran terhadap indeks keajegan eksternal dari tes yang sama seandainya jumlah soal tes tersebut dilipatkan dua.
Konsep lain yang perlu diketahui dalam teori tes ialah mengenai skala hasil pengukuran. Pengukuran yang terbaik ialah yang menghasilkan ukuran dengan "skala mutlak" (ratio scale). Artinya, angka nol yang dihasilkan benar-benar menunjukkan absensi (tidak adanyakuantitas) dari dimensi/aspek yang diukur, dan setiap angka hasil pengukuran merupakan rasio dari dua obyek pada suatu dimensi yang sama. Sebagai contoh, pada pengukuran jarak antara dua benda dengan menggunakan mistar yang ketelitiannya sampai sepersejuta milimeter, angka nol dapat ditafsirkan sebagai berimpitnya kedua benda tersebut. Coba bandingkan hal tersebut dengan pengukuran suhu yang menggunakan thermometer, di mana angka nol adalah didasarkan pada konvensi atau kesepakatan. Meskipun jarak antara empat dan enam Celcius adalah sama dengan antara delapan dan sepuluh Celcius, tetapi tidak dapat ditafsirkan bahwa delapan Celsius adalah dua kali lebih panas dari lima Celsius. Skala yang satuan ukurannya berjarak sama tetapi titik awal (nol) nya tidak miitlak seperti ini disebut skala interval.
Tes psikologi yang dimaksudkan untuk mengukur aspek inlelektual, umumnya hanya menghasilkan skor dalam skala interval tersebut. Itu pun jika semua butir soalnya benar-benar homogin baik dari segi isi materi, bentuk, maupun taraf kesukarannya. Biasanya, pada sebuah tes selalu terdapat variasi pada ketiga hal tersebut, sehingga skala yang dihasilkan tidak sepenuhnya bersifat (equi-) interval. Namun dalam praktek sehari-hari, orang menganggap skala, seperti itu sebagai skala interval. Hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan kesalahan dalam penafsiran iiasil tes serta dalam berbagai keputusan yang diambil berdasarkan hasil tes tersebut.
Jenis skala lain ialah skala ordinal. Dalam skala ini yang ada hanyalah informasi tentang tinggi rendahnya posisi obyek pada dimensi/ aspek yang diukur. Berapa tinggi dan herapa rendahnya tidak diketahui. Jadi informasi yang diperoleh hanyalah bersifat penjenjangan kasar (ranking) saja. Misalkan ada tiga siswa yang tinggi badannya berbeda, masirg-masing 173, 168 dan 145em Jika seorang guru yang belum mengetahui tinggi badan mereka, dimintai meranking, akan diperoleh ranking kesatu, dua, dan ketiga. Padahal jarak antara tinggi sibwa yang kesatu dan kedua sebenarnya amatlah berbeda dengan antara yang kedua dan ketiga. Dengan kata lain, skala angka 1, 2, dan 3 it" tidak berjarak sama(equiinterval). Hasil pengumpulan data melalui skala rating, dan skala sikap/ angket biaaanya dalam tingkatan skala ordinal ini. Jenis skala yang lair ialah skala nomiiial. Ei sini. skala atau angka yang dihasilkan hanya bersifat klasifikasi/ kategorisasi/ nominasi saja. Contohnya ialah jika ada delapan propinsi diberi kode dengan angka satu sampai delapan. Di sini angka yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan tingkat dalam suatu dimensi apa pun.
Masih banyak konsep-konsep penting yang berkenaan dengan teori tes yang harus diketahui oleh orang yang hendak mengembangkan tes ataupun yang hendak mengetahui apakah tes yang akan digunakannya cukup bermutu atau tidak. Namun dalam waktu yang singkat seperti ini tak mungkin diliput seluruhnya. Hal-hal tersebut dapat dibicarakan dalam kesempatan yang lain. Begitu pula halnya dengan pendalaman terhadap hal-hal yang telah dibicarakan pada kesempatan ini, seperti misalnya mengenai model-model matematis/statistis dari setiap konsep yang telah dibicarakan di muka.
Psikometri dan Penggunaan Tes
Tujuan penggunaan tes biasanya banyak sekali ragamnya, namun selalu berkenaan dengan satu hal, yaitu peiiggunaan skor tes untuk mengambil suatu keputusan. Dengan deinikian. sifat dasar dari perinasalaliannya adalah peramalan tentang tepat tidaknya kepntusan yang diambil berdasarkan hasil dari suatu tes tersebut. Dengan kata lain, skor tes yang dijadikan dasar pengambilan keputusan selalu nwrupakan variabel peramal (prediktor), sedangkan bervariasinya hasil yang timbul sebagai akibat dari diambilnya keputusan berdasarkan prediktor tprsebut adalah variabel akibat (dependent variable, atau kriterion). Dalam praktek, agar keputusan yang diambil dapat benar-benar berhasil, maka. variabel yang dija,dikan dasar pengambilan keputusan itu biasanya terdiri dari beberapa buah (misalnya skor dari beberapa tes ditambah dengan beberapa hal lain yang juga dijadikan dasar pertimbangan). Begitu pula halnya dengan variabel kriterion, biasanya terdiri dari hasil pengukuran terhadap berbagai jenis indikator keberhasilan/kegagalan dari keputusan yang telah diambil. Dalam situasi penggunaan tes seperti ini, metoda-metoda psikometri dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai dua jenis tujuan:
  • untuk mendapatkan persamaan matematis yang paling handal dalam meramalkan akibat dari suatu keputusan yang akan diambil berdasarkan skor dari satu atau sehimpunan tes. Jika persamaan ini dapat ditemukan berdasarkan penelusuran (eksplorasi) terhadap struktur hubungan antar variabel •yang ada pada data, maka keputusan-keputusan berdasarkan skor tes tersebut dapat disempurnakan.
  • untuk menguji apakah suatu model teoretis tentang cara penggunaan skor tes tertentu untuk tujuan tertentu yang selama ini mungkin telah sering dipakai adalah memang cukup handal dan dapat dipercaya.
Baik pada tujuan yang pertama maupun yang kedua, permasalahannya adalah sama, yaitu mengenai tingkat kesahihan (validitas) dari suatu keputusan yang telah diambil. Sehubungan dengan hal ini, khususnya pada masalah seleksi calon karyawan, mahasiswa, dsb, validitas keputusan yang pernah diambil sering kali dikaitkan dengan tes yang digunakan sehingga ukuran tentang validitas keputusan tersebut sering dinyatakan sebagai ukuran validitas dari tes tersebut dalam penggunaannya sebagai alat seleksi. Keputusan seleksi yang menghasilkan tingkat validitas yang tinggi biasanya didasarkan pada sehimpunan skor tes yang komposisi bobot peranan masing-masing tes terhadap keputusan yang diambil telah ditetapkan secara empirik melalui penggunaan metoda-metoda psikometri yang tepat. Upaya menemukan model persamaan seleksi yang tepat secara empirik ini disebut "selection modeling" dan dalam bentuk yang canggih biasanya menggunakan model statistik yang di dalam ilmu psikometri dikenal dengan nama "modeling dengan persamaan struktural".

You Might Also Like

0 comments

Hallo.. a warm greetings from me ^O^
Kindly write your thoughts in the comment box. I’ll read every comments I get from you.

Do not forget to click button ‘Notify Me’ to get notification when I replied your comments.
Let’s spread love and positivity ♡♡♡

Regard, Ika :)

Instagram

Follow G+

close
Banner iklan disini