Fase Dewasa
08:46
A. Pengertian dan Ciri-ciri Kedewasaan
Dewasa
atau adult
berasal dari kata kerja latin, seperti juga istilah adolescene- adolescere
yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Akan tetapi, kata adult
berasal dari bentuk lampau dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh
menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa.” Sebagai
akhir dari masa remaja adalah masa dewasa, atau ada juga yang menyebutnya masa
adolesen. Ketika mereka meginjak dewasa, pada umumnya mempunyai sikap:
menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya menggariskan jalan
hidupnya,bertanggung jawab, menghimpun norma-norma sendiri.
Sebagai akhir dari masa remaja
adalah masa adolesen, walaupun ada juga yang merumsukkan masa adolesen ini
kepada masa dewasa namun demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah
menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya:
a.
Dapat menentukan pribadinya.
b.
Dapat rnenggariskan jalan hidupnya.
c.
Bertanggung jawab.
d.
Menghimpun norma-norma sendiri.
Di periode pra-pubertas oleh Charlotte
Buchler dengan kata-kata : “perasaan saya tidak
enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya.” Untuk periode pra-pubertas
dilukiskannya sebagai berikut: “Saya ingin sesuatu, tetapi tidak tahu ingin
akan apa.” Tetapi saat
telah menginjak usia dewasa atau adolesen terlihat adanya kematangan jiwa
mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia
dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang
dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth
B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
1. Masa dewasa awal
(masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan
dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan
emosional, periode isolasi social, periode komitmen dan masa ketergantungan,
perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang
baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
2. Masa dewasa madya
(middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat
puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social
antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita
meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu
priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru.
Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan
kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan
pribadi dan sosial.
3. Masa usia lanjut
(masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup
seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang
ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang
semakin menurun.Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan
sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik,
peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam
system syaraf, perubahan penampilan.
Adapun ukuran kedewasaan yang dapat dilihat dari seseorang, menurut Dr.Harold
Shyrock dari Amerika Serikat, ada lima faktor yang dapat menunjukkan kedewasaan
adalah sebagai berikut :
1.
Fisik
Secara fisik usia, rangka tubuh,
tinggi dan lebarnya tubuh seseorang dapatmenunjukkan sifat kedewasaan pada diri
seseorang. Faktor-faktor ini memangbiasa digunakan sebagai ukuran kedewasaan.
Akan tetapi segi fisik saja belumdapat menjamin ketepatan bagi seseorang untuk
dapat dikatakan telah dewasa.Sebab banyak orang yang sudah cukup usia dan
kelihatan dewasa akan tetapiternyata dia masih sering memperlihatkan sifat
kekanak-kanakannya. Oleh sebab itu dalam menentukan tingkat kedewasaan
seseorang dari segi fisiknya harus pula dengan mengetahui: "Apakah dia dapat
menentukan sendiri setiappersoalan yang dia hadapi, dan apakah ia telah dapat
membedakan baik-buruknya serta manfaat dan ruginya sebuah permasalahan
hidup. Selain itu juga adanya kepercayaan pada diri sendiri dan tidak
bergantung kepada orang lain, tidak cepat naik pitan (marah), serta
tidak menggerutu disaat menderita dan menerima cobaan dari Tuhan, sehingga
nantinya ia dapat dilihat bagaimana tingkat kedewasaan seseorang tersebut dalam
mengatasi semua persoalan hidup yang dia alami
2.
Kemampuan
Mental
Dari segi mental atau rohani
kedewasaan seseorang dapat dilihat. Orang yangtelah dewasa dalam cara berfikir
dan tindaknnya berbeda dengan orang yang masih kekanak-kanakan sifatnya. Dapat berfikir secara logis,
pandai mempertimbangkan
segala sesuatu dengan adil, terbuka dan dapat menilai semua pengalaman
hidup adalah merupakan salah satu ciri-ciri kedewasaan pada diri seseorang.
Berbagai persoalan hidup ini dapat
diatasi bila ada kemampuan mental dalam dirinya.Dan kemampuan mental ini dapat diusahakan
perkembangannya bila orang (calon suami dan istri) tidak menutup diri dari
kemajuan zaman. Selain itu sering membaca buku-buku atau surat kabar dan
majalah adalah cara yang baik untuk memupuk perkembangan mental dalam diri
seseorang. Sikap kedewasaan yang sempurna itu jika ada keserasian
antara perkembangan fisik dan mentalnya.
3.
Pertumbuhan
Sosial
Sifat kedewasaan seseorang dapat
dilihat dari pertumbuhan sosialnya. Pertumbuhan sosial adalah suatu kepahaman tentang
bagaimana dia menyayangi pergaulan, bagaimana dia bisa memahami tentang
bagaimana watak dan kepribadian seseorang dan bagaimana cara dia mampu
membuat dirinya agar disukai oleh orang lain didalam pergaulannya. Perasaan
simpatik kepada orang lain dan bahkan terhadap seseorang atau hal-hal
yang paling tidak ia sukai sekalipun merupakan ciri kedewasaan secara
sosial. Orang yang dapat berbuat seperti itu dia pasti pandai menguasai
keadaan meskipun terhadap orang yang berlaku tidak baik terhadap dirinya
meskipun untuk hal yang paling menyakitkan dalam hatinya sekalipun.
4.
Emosi
Emosi sangat erat hubungannya dengan
segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan yang menyangkut sendi-sendi dalam
kehidupan berumah tangga. Emosi adalah keadaan batin manusia yang
berhubungan erat dengan rasa senang, sedih, gembira, kasih sayang, benci dan lain
sebagainya. Kedewasaan seseorang itu dapat dilihat dari cara seseorang dalam
mengendalikan emosi ini. Jika orang pandai mengendalikan emosinya maka
berarti semua tindakan yang dilakukannya bukan hanya mengandalkan dorongan
nafsu, melainkan dia telah menggunakan akalnya juga. Menyalurkan emosi
dengan dikendalikan oleh akal dan pertimbangan sehat akan dapat melahirkan
sebuah tindakan yang telah dewasa, dan yang tetap akan berada didalam peraturan
dan norma-norma yang berlaku didalam agama. Emosi dapat dikendalikan jika dilatih dari hari ke hari.
Emosi ini tidak dapat diperoleh secara sekonyong-konyong. Kesungguhan dan kesanggupan seseorang
untuk mengendalikan emosi harus sudah dilatih semenjak lama.
Orang
yang telah dapat menguasai dan mengendalikan
emosinya dengan disertai oleh kemampuan mental yang cukup dewasa, dia
pasti dapat mengendalikan dirinya menuju kehidupan yang bahagia dikarenakan
selalu bersifat terbukadalam menghadapi berbagai kenyataan-kenyataan hidup,
tabah didalammenghadapi setiap kesulitan dan persoalan hidup dan dapat merasa
puas dan sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapang dada.
5.
Pertumbuhan
Spiritual dan Moral
Faktor kelima yang dapat dijadikan
pedoman bahwa seseorang tersebut telah dewasa adalah dengan melihat dari pertumbuhan
spiritual dan moralnya. Kematangan spiritual dan moral bagi seseorang yang
mendorong dia untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan baik. Oleh sebab itu
pertumbuhan ini harus sudah dimulai sejak awal dan diperkembangkan untuk
dapat menghayati Rahmat Allah SWT. Sehingga dengan demikian orang tersebut bisa dikatan
sebagai orang
yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Seseorang yang telah berkembang pertumbuhan moral dan spiritualnya akan lebih
pandai dan lebih tenang didalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan
hidup yang menimpa pada dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan
dipasrahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan disertai ikhtiar menurut kemampuannya
sendiri.
Selain
dari semua ciri kedewasaan tersebut diatas ada satu hal yang harus disanggupi
dan merupakan kesungguhan seseorang dalam menghadapi realita kehidupan itu yang
merupakan salah satu ciri kedewasaan yang harus dipupuk, dikembangkan, dilatih
dan dipelihara dari hari kehari.
Ciri-ciri Kedewasaan antara lain :
1. Sikap yang tepat
Orang yang ingin belajar untuk lebih dewasa harus
mengetahui bagaimana bersikap yang tepat pada kondisi, situasi dan orang yang
berbeda-beda.Bagaimana kita bersikap kepada yang lebih tua tentu berbeda dengan
bagaimana kita bersikap dengan kawan sebaya, apalagi dengan yang lebih muda. Juga
bagaimana kita bersikap yang tepat pada kondisi yang mengharuskan kita seperti
itu. Cara
kita berbicara, bertingkah, bercanda, dan lain-lain juga harus secara tepat.
2.
Keberanian
Menurut Imam Ibnul Qayyimrahimahullah, keberanian adalah salah satu bentuk kesabaran.
Keberanian adalah sikap menahan diri dan terus melangkah walaupun muncul
ketakutan, ketidakberdayaan, sedikit harapan dan rasa sakit. Jadi,
keberanian bukan hanya dalam bentuk kekerasan. Orang yang masih berjuang di tengah kekurangan, adalah
orang yang berani. Seorang pengusaha dengan modal tidak seberapa adalah
orang yang berani, dan masih banyak lagi.Sebenarnya, karakter keberanian
sebagai ciri kedewasaan, bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita
lihat, seekor ayam yang penakutpun akan menjadi galak dan berani ketika
mempunyai anak yang masih kecil. Kita bisa mengambil hikmah dari hal ini, bahwa
karakteristik melindungi harus kita miliki agar salah satu ciri kedewasaan
terpenuhi.
3. Kesabaran
Orang yang dewasa adalah orang yang mampu menahan diri
dari sesuatu yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan.Ketika ditimpa
musibah, kita harus bersabar. Ketika mendapatkan nikmat, bentuk kesabaran kita
adalah bersyukur dan menahan diri untuk tidak pamer, meluaskan hati kita untuk
berbagi dan bentuk kesabaran yang lain.Diantara bentuk kesabaran adalah sikap
tenang ketika ditimpa musibah.Dengan tidak menjerit-jerit, menjambak rambut dan
tindakan negatif lainnya.Manusiawi ketika kita bersedih saat kehilangan
sesuatu, tapi diperlukan sebuah kesabaran dalam menyikapinya.Nah, matang atau
tidak matangnya pikiran kita bisa dilihat dari hal ini. Memang sangat berat,
oleh sebab itu kita harus meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.
4.
Tanggung Jawab
Tanggung jawab mempunyai arti menjaga dan menunaikan
amanah yang diberikan dengan sebaik-baiknya. Setiap manusia mempunyai amanah
yang harus ia jaga. Tubuh adalah amanah, keluarga adalah amanah, pekerjaan
adalah amanah dan masih banyak lagi.Ketika manusia sudah tidak mau menjaga dan
menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya, yang terjadi adalah kerusakan.Oleh sebab itu, alangkah lucunya
ketika ada orang yang tidak sanggup menjaga sebuah amanah, tetapi meminta
amanah itu diberikan kepadanya.Apa yang terjadi ketika
yang dinamakan amanah itu adalah sebuah masyarakat yang majemuk dalam hal
keyakinan, budaya dan pikiran? Sepertinya terlalu berat membahas itu, lebih baik kita
membahas tentang menjaga amanah sebagai bentuk kedewasaan saja. Tanggung jawab
atau menjaga amanah ini adalah salah satu ciri yang membedakan seorang dewasa
dengan seorang yang belum dewasa. Semakin dewasa seseorang, semakin bertanggung
jawablah dia. Sebab, dia mengetahui bahwa segala sesuatu ketika dijaga dan
ditunaikan dengan sebaik-baiknya, niscaya mendapat hasil yang baik (kecuali
Allah subhanahu wa Ta’ala berkehendak lain).Seperti petani yang menjaga
tanamannya, dia rawat dengan sebaik-baiknya. Dia jauhkan dari hama dan burung
yang mengganggu. Hasilnya, dia menunggu dengan optimis.Begitupun amanah, ketika
dia jaga dengan baik-baik, dia tunaikan dengan baik-baik, hasilnya bisa dia
petik dengan penuh optimis.Tapi orang yang bijaksana, tidak begitu mementingkan
hasil. Mereka bertanggung jawab karena memang mereka mencintainya sebagai sebuah
proses.
5.
Kepercayaan Diri
Mendefinisikan
sebagai sebuah harapan positif bahwa kita bisa melakukan sesuatu. Ini sebagai
sebuah bentuk kerendahan hati kita terhadap Allah subhanahu wa Ta’ala, sebab
segala sesuatu adalah milikNya, segala yang kita dapatkan adalah karena karunia-Nya.
Berbicara mengenai kepercayaan diri, CR Synder,
professor klinis dari University of Kansas, saat meneliti 200 mahasiswa tingkat awal menemukan
bahwa mahasiswa yang memiliki harapan positif memiliki prestasi lebih baik dan
mampu menyelesaikan kuliah lebih cepat daripada mahasiswa yang berpikiran
negatif terhadap masa depan mereka. Selain itu, Lewis Curry, Phd, profesor psikologi olahraga dari University of Montana, menguji 106 atlet
perempuan, menemukan bahwa atlet yang sukses dalam pertandingan adalah mereka
yang memiliki harapan positif terhadap prestasinya. Sebaliknya, mereka yang
berpikiran negatif menghasilkan sikap pesimis, dan cenderung gagal
meraih hasil yang gemilang.
Begitupun terhadap orang yang ingin menjadi lebih
dewasa, harus mempunyai harapan positif untuk itu. Sebab hal
tersebut merupakan salah satu kekuatan dan pondasi yang diperlukan. Ketika
kekuatan dan pondasi tersebut rapuh, dikhawatirkan akan ambruk. Kata ambruk
adalah kiasan dari kegagalan dalam meraih kematangan. Kata ini juga bisa
berarti, tidak adanya kepercayaan dari orang lain kepada kita. Bagaimana bisa
kita berharap agar orang lain percaya kepada kita, sedang kepada diri sendiri
saja tidak mempercayainya.
6.
Berpikir Secara Luas
Berpikir secara luas berarti berpikir
dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Sebab segala sesuatu terkadang tidak
sesederhana yang dipikirkan. Banyak hal yang dikira sederhana, tapi berdampak
luas dan panjang. Sehingga diperlukan sikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa
sebelum memutuskan melakukan sesuatu.
Aspek yang harus dipertimbangkan terdiri
dari akibat dan konsekuensi, pengaruh, hal yang diluar kehendak, sudut pandang
yang lain, dan perasaan orang lain.
Ø Aspek yang
pertama adalah akibat dan konsekuensi. Ini adalah aspek yang paling
penting. Tidak ada yang meninggalkannya kecuali oleh orang yang tergesa-gesa
dan sembrono. Sebab tidak ada suatu kejadian pun yang terjadi, tanpa ada
penyebabnya. Segala yang kita nikmati sekarang, adalah buah tindakan kita di
waktu yang lalu. Dan apa yang kita dapatkan di masa depan adalah akibat
tindakan kita saat ini.Akibat dan konsekuensi yang didapatkan terkadang bersifat
tetap dan menyakitkan. Atau bahkan kehancuran. Oleh sebab itu hal yang pertama
kita pertimbangkan adalah sesuai atau tidaknya tindakan kita dengan aturan
agama. Setelah itu baru melihat yang lain, seperti apakah tindakan kita akan
menyebabkan kehormatan jatuh, dan sebagainya.
Ø Aspek yang
kedua adalah pengaruh. Bisa saja perbuatan seseorang berpengaruh secara
luas dan merugikan orang yang sebenarnya tidak bersalah. Sifat kebanyakan
manusia, menyamaratakan sesuatu karena pengaruh kedekatan. Misalnya, seorang
yang melakukan kejahatan, menyebabkan anak, istri dan keluarganya turut
dipersalahkan. Kasus Gayus Tambunan contoh yang lain, tindakan satu oknum
pegawai pajak, mencemarkan institusi dan seluruh pegawai pajak. Orang
yang bijaksana tidak akan menyebabkan orang yang lain susah, apalagi orang
terdekatnya akibat tindakan buruknya.
Ø Aspek yang
ketiga, hal yang diluar kehendak. Banyak hal terjadi tanpa bisa kita
prediksikan. Untuk itu kita perlu untuk mengantisipasinya sebelum terjadi.
Apalagi di zaman informasi seperti ini, dimana banyak aturan berubah dan adanya
pendobrakan besar-besaran terhadap batas-batas yang berlaku pada masa
sebelumnya.Apa yang berlaku pada masa sebelumnya, belum tentu berlaku pada
zaman ini. Apa yang berlaku tahun ini, belum tentu berlaku pada tahun
mendatang. Ketika kita mendapatkan keamanan kerja saat ini, belum tentu
beberapa tahun lagi seperti itu. Antisipasi tidak menafikkan tawakal, sebab
kita dituntut untuk berusaha dengan sebaik-baiknya.
Ø Aspek yang
keempat, sudut pandang yang lain. Kebuntuan pikiran dan
penderitaan terjadi ketika kita melihat sesuatu hanya dari sudut pandang
sendiri. Paradigma diri kita, terkadang terkungkung oleh egoisme, kepentingan,
dan sentimen pribadi. Dengan melihat sudut pandang yang lain, diharapkan diri
kita akan ‘kaya’ dan lebih mudah ketika kita dihadapkan dengan kesulitan.
Ø Aspek yang
kelima, perasaan orang lain. Sebelum bertindak dan melakukan sesuatu
yang melibatkan orang lain, kita harus mengetahui dan menjaga perasaannya.
Apakah ada yang merasa tersinggung dan dirugikan karena tindakan kita. Termasuk
tindakan tidak terpuji ketika kita berbuat tanpa memperhatikan perasaan orang
lain. Ketika meremehkannya, jangan salah siapa-siapa ketika kita tidak disukai
orang lain.
B.
Sikap Keberagaman Pada Masa
Dewasa
Menurut H. Carl Witherington, di periode adolesen ini
pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas. Sekarang mereka
mulai berpikir tentang tanggung jawab sosial moral, ekonomis, dan keagamaan (M.
Buchori, 1982:145). Pada masa adolesen anak-anak berusaha untuk mencapai
suatu cita-cita yang abstrak. Di usia dewasa biasanya seseorang sudah memilliki
sifat kepribadian yang stabil. Stabilisasi sifat-sifat kepribadian ini antara
lain terlihat dari cara bertindak dan bertingkah laku yang agak bersifat tetap
(tidak mudah berubah) dan selalu berulang kembali. (M. Buchori, 1982:99).
Kemantapan jiwa seorang dewasa ini setidaknya
memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka
sudah memiliki tanggung jawab terhadap system nilai yang bersumber dari ajaran
agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan
nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang.
Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seseorang di usia dewasa sulit
untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin
proses disitu terjadi setelah
didasarkan atas pertimbangan yang matang.
Jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan
pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola
kehidupan mereka. Sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas
dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka secara mantap
menjalankan ajaran agama yang mereka anut.Sehingga, tak jarang sikap
keberagamaan ini dapat menimbulkan ketaatan yan berlebihan dan menjurus ke
sikap fanatisme. Karena itu, sikap keberagamaan seorang dewasa
cenderung didasarkan atas pemilihan terhadap ajaran agama yang dapat memberikan
kepuasan batin atas dasar pertimbanan akal sehat.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka
sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut :
1.
Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar
ikut-ikutan.
2.
Cenderung
bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3.
Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.
Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga
sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.
Bersikap
lebih terbuaka dan wawasan yang lebih lua\s.
6.
Bersikap
lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7.
Sikap
keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.
Terlihat
adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga
perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C.
Kriteria Orang Yang Matang
Beragama
Kemampuan seseorang untuk
mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya
serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri
dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan
seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai
luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
William sturbuck, seperti dikemukakan oleh
william james berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Alasan ini pula tampaknya
yang menyebabkan dalam psikologi agama dikena dua sebutan, yaitu the sick soul
dan the suffering. Tipe yang pertama dilatarbelakangi oleh faktor intern (dalam
diri) sedangkan yang kedua adalah karena faktor ekstern (dari luar).
a.
Faktor intern yang
diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak
lazim adalah :
1.
Tempramen
Tempramen merupakan
salah-satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin
dari kehidupan kejiwaan seseorang. Tingkah laku yang didasarkan kondisi
tempramen memegang peranan penting dalam sikap keagamaa seseorang. Seseorang
ang melancholic akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis dalam
sikap dan pandangannya terhadap ajaran agama.
2.
Gangguan jiwa
Orang yang mengidap
gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkannya tergantung
dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap. Seperti; skizofrenia, paranoia,dll.
3.
Konflik dan keraguaan
Konflik kejiwaan yang
terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya.
Mungkin bedasarkan kesimpulannya ia akan memilih salahsatu agama yang
diyakininya ataupun meninggalkannya sama sekali. Keyakinan agama yang dianut berdasarkan
pemilihan yang matang sesudah terjadinya konflik kejiwaan akan lebih dihargai
dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang
terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun agnostis hingga ateis.
4.
Jauh dari tuhan
Orang yang dalam
kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan
kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Ia seakan merasa tersisih dari
curahan rahmat tuhan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri
kepada tuhan serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh-sungguh. Hal ini
menyebabjan terjadinya semacam perubahan sikap keagamaan pada dirinya.
b.
Faktor ekstern yang
diperkirakan turut mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak, adalah :
1.
Musibah
Terkadang musibah yang
serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa ini sering
pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai tafsiean. Bagi mereka
yang semsa sehatnya kurang memiliki pengalaman kesadaran agama yang cukup
umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan tuhan kepada dirinya.
2.
Kejahatan
Mereka yang menekuni
kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku maupun sebagai
pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami guncangan batin dan rasa berdosa.
Perasaan itu mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti
melupakan sejenak dengan minuman keras, judi, dll. Namun, untuk menghilangkan
keguncanggan batin tersebut sering tak berhasil. Karena itu, jiwa mereka labil
dan terkadang dilampiaskan dengan tindakan yang brutal, pemarah, mudah
tersinggung, dan tindakan negatif lainnya.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James
menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu :
1. Tipe Orang yang Sakit
Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang
sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang
kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu
agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama
yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia
dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka
meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain
mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang
sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang
mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap :
Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung
bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.Mereka menjadi tahan menderita dan segala
penderitaan menyebabkan peningkatan ketaatanya.Penderitaan dan kenikmatan yang
mereka mereka percayai sepenuhnya sebagai azab dan rahmat tuhan.Mereka
cenderung lebih mawas diri dan terlibat dalam masalah pribadi masing-masing
dalam mengmalkan ajaran agama.
Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap
objektif.Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan
kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.Dengan demikian, mereka berusaha untuk menebusnya dengan
mendekatkan diri kepada tuhan melalui pensucian diri.Cara bermeditasi
kadang-kadang merupakan pilihan dalam memberi kenikmatan yang dapat
dirahasiakan oleh jiwanya.
Menyenangi paham yang ortodoks
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan
jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham
keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
Mengalami proses keagamaan secara non-graduasi
Proses timbulnya keyakinan terhadap jaran agama
umumnya tidak berlangsung melalui prosedur yang biasa, yaitu dari tidak tahu
menjadi tahu dan kemudian mengamalkannya dalam bentuk amalan rutin yang wajar.
Tindak keagamaan yang mereka lakukan didapat dari proses pendekatan, mungkin
karena rasa berdosa, ataupun perubahan keyakinan maupun petunjuk tuhan. Jadi,
timbulnya keyakinan beragama pada mereka ini berlangsung melalui proses
pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba.
2. Tipe Orang yang Sehat
Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa
menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya
Religion Psychology adalah :
Optimis
dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran
agama dengan perasaan optimis.Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil
jerih payah yang diberikan Tuhan.Sebaliknya, segala bentuk musibah dan
penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan
tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.Mereka yakin bahwa tuhan bersifat pengasih dan
penyayang bukan pemberi azab.
Ektrovet
dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang
dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakan
kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses religiusitas tindakannya. Mereka selalu
berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari kungkungan ajaran
keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang kepada kemudahan dalam
melaksanakan ajaran agama. Sebagai akibatnya, mereka kurang senang mendalami
ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
Menyenangi ajaran ketauhidan yang
liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang
ekstrovet maka mereka cenderung :
1) Menyenangin teologi yang luwes dan tidak kaku
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama
secara social
4) Menekankan ajaran cinta kasih daripada
kemurkaan dan dosa
5) Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa
dan kehidupan kebiaraan
6) Bersifat liberal dalam menafsirkan
pengertian ajaran agama. Misalnya, dalam penafsiran ayat injil yang berbunyi
“jika tangan saya menyakitimu, maka potonglah ia” diterjemahkan dengan “jika
dosa, iblis, dan penderitaan menggangumu maka jangan pedulikan ia”.
7) Selalu berpandangan positif
8) Berkembang secara graduasi. Maksudnya mereka
meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan tidak melalui proses
pendadakan.
D.
Masalah-Masalah Keberagaman
Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi
masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut :
1.
Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi
adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai
kemungkinan pilihan.
2.
Masa
dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup
yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara
konsisten.
3.
Masa
dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan
kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal
yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia
tua.
KESIMPULAN
Manusia memiliki bermacam ragam
kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena
kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu
membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam
jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha Kuasa tempat mereka
berlindung, dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia dilandasi
kepercayan beragama. Sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol jika
kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya.
Kestabilan hidup seseorang dalam
beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kestabilan yang statis.
Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan
yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang
dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang
dipilihnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen
hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Namun, masih banyak lagi yang menjadi
kendala kesempurnaan orang dewasa dalam beragama. Kedewasaan seseorang dalam
beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena
menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam
hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sururin,
M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83
0 comments
Hallo.. a warm greetings from me ^O^
Kindly write your thoughts in the comment box. I’ll read every comments I get from you.
Do not forget to click button ‘Notify Me’ to get notification when I replied your comments.
Let’s spread love and positivity ♡♡♡
Regard, Ika :)