Ibnu Rusyd
09:27
Pemikiran Rusyd
Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol
adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir
setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting,
khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang
selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual
dan bukan artikulasi lafadz.
Islam sendiri, demikian Rusyd, tidak melarang
orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya
untuk mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan
interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang
dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti
majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal
dan pertengahan.
Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd
membagi manusia kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada
ahli awam, kata Rusyd, Alquran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya
dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, takwil
sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa
diperuntukkan bagi kaum ahli fikir.Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd,
takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahlul fikir.
Pemikiran Rusyd tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan
filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat
bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.
Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang
menganut teori Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam
harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan
eksistensi alam.
Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan
teori itu, kata Rusyd, yaitu:
- Pertama,
dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian
yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan,
semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang
didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk
melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan
pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada
pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran.
- Kedua,
dalil ikhtira’ yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan
makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk
hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin
tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak
terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja
tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang
mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak
ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
- Ketiga,
dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles.
Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu
gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama
yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan.
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta
gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman
tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita
anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak
pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd
yang juga dikenal sebagai ‘pelanjut’ aliran Aristoteles ini, menilai bahwa
substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang
kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di
luarnya.
Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu
Rusyd adalah, ketika polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali.
Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia
tuangkan dalam buku berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd
membalas dengan menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah
bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang
di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini
berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof
lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan
hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali
manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.
Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun
rules of dialogue, dalam kaitan memahami ‘orang lain’ di luar kita. Teorinya
ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:
- Pertama,
keharusan untuk memahami ‘yang lain’ dalam sistem referensinya sendiri.
Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam
menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
- Kedua,
dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali
hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk
berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara
kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya.
Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda
harus dihargai.
- Ketiga,
mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali
menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. “Tujuan
saya,” kata Al Ghazali, “adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya
berhasil.” Ibnu Rusyd menjawab, “Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang
terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari
kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan.”
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu
Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional,
toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula
yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.
Keharusan
Ta’wil
Para filosof Islam bersepakat
bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk
mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Qur’an dan Hadits, terdapat banyak nash
yang secara lahir bertentangan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash
tersebut dapat dita’wilkan sepanjang memenuhi aturan-aturan ta’wil dalam bahasa
Arab, seperti halnya lafazh-lafazh dari Syara’ dapat pula dita’wilkan dari segi
aturan fiqh. Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang
datang dari Syara’ diartikan menurut lahirnya, tidak pula harus dikeluarkan
semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna batinnya. Penafsiran
(pena’wilan) semacam inilah dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan para filosof.
Dengan demikian, ada arti lahir
dan arti batin. Bila arti lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini
harus diambil dan kalau berlawanan maka harus dicari pena’wilannya. Arti ta’wil
adalah mengeluarkan sesuatu kata dari arti yang sebenarnya kepada arti yang
majazi (allegorik).
Rangkapnya arti tersebut, dikarenakan perbedaan pandangan orang dan kemampuannya untuk mempercayai. Manusia dalam hal ini terdiri dari tiga golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu golongan pemakai qiyas burhani, qiyas jadali, dan qiyas khithabi.
Rangkapnya arti tersebut, dikarenakan perbedaan pandangan orang dan kemampuannya untuk mempercayai. Manusia dalam hal ini terdiri dari tiga golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu golongan pemakai qiyas burhani, qiyas jadali, dan qiyas khithabi.
Qiyas burhani adalah qiyas yang
terdiri dari dasar-dasar pikiran (premis) yang yakin dan berpijak pada
hukum-hukum aksioma. Karena itu, qiyas tersebut memiliki konklusi yang
meyakinkan, dan itulah qiyas yang sebenar-benarnya dan lazim dipakai dalam
dunia pemikiran filsafat.
Qiyas jadali terdiri dari
dasar-dasar pikiran yang masih berada dalam daerah kemungkinan, yang diterima
oleh semua orang atau sebagian besarnya atau diterima oleh semua filosof, dan
kesimpulannya juga masih berada pada daerah kemungkinan pula. Qiyas jadali ini
tidak bisa menggantikan qiyas burhani dan hanya bisa dipakai dalam arena perdebatan
dan yang sejenisnya.
Qiyas khithabi adalah qiyas yang
didasarkan atas pikiran-pikiran dasar yang lemah dan hanya sesuai untuk pilihan
si pendengar dan keadaan jiwanya. Qiyas ini bersifat sentimentil, yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi atau memberi kepuasan jiwa, bukan untuk memberikan
pengertian yang benar.
Golongan para pemakai qiyas burhani adalah para filosof yang mempunyai dalil-dalil yang kuat. Sedangkan golongan pemakai qiyas jadali adalah para teolog Islam (mutakallimin) yang hanya sampai ke tepi keyakinan tetapi tidak sampai mengarunginya. Adapun qiyas khithabi adalah manusia pada umumnya yang kurang memiliki kecerdasan otak, dan fitrahnya masih kurang sempurna, sehingga tidak mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.
Golongan para pemakai qiyas burhani adalah para filosof yang mempunyai dalil-dalil yang kuat. Sedangkan golongan pemakai qiyas jadali adalah para teolog Islam (mutakallimin) yang hanya sampai ke tepi keyakinan tetapi tidak sampai mengarunginya. Adapun qiyas khithabi adalah manusia pada umumnya yang kurang memiliki kecerdasan otak, dan fitrahnya masih kurang sempurna, sehingga tidak mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.
Aturan-aturan Ta’wil
Ibnu Rusyd meletakkan beberapa
aturan sebagai pegangan dalam melakukan ta’wil, yaitu :
1. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip Syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi bahwa Syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung olehnya.
2. Yang berhak mengadakan ta’wil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof tertentu saja, yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ta’wil ini tidak boleh dilakukan oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam Islam.
3. Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada orang awam karena orang awam hanya mengetahui arti lahirnya nash.
4. Kaum Muslimin bersepakat bahwa dalam Syara’ ada tiga bagian, yaitu : Bagian yang harus diartikan menurut lahirnya; bagian yang harus dita’wilkan; dan bagian yang masih diperselisihkan.
Dalam hal pena’wilan terhadap sesuatu yang sudah disepakati untuk diartikan menurut lahirnya ataupun pengartian menurut lahirnya dari sesuatu yang semestinya dita’wilkan, diperlukan ijma’ kaum muslimin.
1. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip Syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi bahwa Syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung olehnya.
2. Yang berhak mengadakan ta’wil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof tertentu saja, yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ta’wil ini tidak boleh dilakukan oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam Islam.
3. Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada orang awam karena orang awam hanya mengetahui arti lahirnya nash.
4. Kaum Muslimin bersepakat bahwa dalam Syara’ ada tiga bagian, yaitu : Bagian yang harus diartikan menurut lahirnya; bagian yang harus dita’wilkan; dan bagian yang masih diperselisihkan.
Dalam hal pena’wilan terhadap sesuatu yang sudah disepakati untuk diartikan menurut lahirnya ataupun pengartian menurut lahirnya dari sesuatu yang semestinya dita’wilkan, diperlukan ijma’ kaum muslimin.
Dalam kaitan ini, menurut Ibnu
Rusyd, para ulama membagi ijma’ menjadi dua, yaitu ijma’ dalam amalan lahir dan
ijma’ dalam amalan penyelidikan akal. Mereka menetapkan bahwa ijma’ dalam
soal-soal akidah tidak mungkin terjadi dengan jalan yang yakin, sebagaiman yang
mungkin terjadi dalam soal-soal amalan. Dalam soal-soal amalan, ijma’ bisa
terjadi apabila sesuatu amalan tersebut luas, kemudian tidak terdengar ada
pendapat yang menyalahinya. Ketidak mungkinan ijma’ seperti ini pula yang,
sebagaimana diakui pula oleh Al-Ghazali sendiri. Karena itu, sangatlah
berlebihan dalam hal yang tidak mungkin terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para
filosof disalahkan , bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.
Source: berbagai sumber
0 comments
Hallo.. a warm greetings from me ^O^
Kindly write your thoughts in the comment box. I’ll read every comments I get from you.
Do not forget to click button ‘Notify Me’ to get notification when I replied your comments.
Let’s spread love and positivity ♡♡♡
Regard, Ika :)